
MALANG- SURYA- MESKI tengah malam itu diguyur gerimis namun tak membuat para penziarah di Gunung Kawi beranjak dari tempat duduknya. Mereka tetap bersila sambil memanjatkan doa di depan pesarean makam Eyang Jugo atau Raden Mas Zakaria dan santrinya, Eyang Iman Sujono.
Hujan rintik yang membawa udara dingin bukan main itu membuat suasana magic kian terasa di puncak Gunung Kawi. Ditambah aroma mewangian yang menyeruak ke angkasa, membuat para penziarah makin khusuk berdoa. Suasana itu terjadi tengah malam menjelang 1 Suro. “Di sini itu agak aneh. Kalau ada orang punya hajat, pasti hujan. Seperti malam ini lagi ada Suro-an Gunung Kawi juga diguyur hujan,” tutur Ramelan, 71, yang rumahnya hanya beberapa meter dari pesarean Gunung Kawi.
Acara 1 Suro di Gunung Kawi baru digelar, Jumat (18/12) siang, namun ribuan orang dari berbagai daerah sudah berdatangan. Mereka sengaja tiba lebih awal karena ingin melekan pada malam 1 Suro. Apalagi malam menjelang suroan, pengunjung dihibur dengan berbagai kesenian mulai wayang sampai Barongsai dan Liang Liong dari Klenteng Poo An Kiong Blitar, menambah hangat suasana malam itu.
Nama besar Gunung Kawi, sepertinya tak pernah terlupakan bagi masyarakat. Sejak puluhan tahun silam, terutama setiap malam Jumat Legi, ribuan orang berziarah. Lebih-lebih pada 1 Suro seperti sekarang ini, masyarakat punya kepercayaan ritual tersendiri. Dengan datang ke Gunung Kawi, orang akan mendapat berkah. Tak heran, dua hari sebelum 1 Suro, para peziarah sudah berdatangan ke lokasi yang terletak di Desa/Kecamatan Wonosari. Mereka tak hanya berasal Malang atau kota lainnya di Jatim, namun justru yang mendominasi dari luar kota, seperti Solo, Jogjakarta, Bandung dan Jakarta.
Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mulai pejabat, pengusaha, petani sampai orang yang sedang lelaku (mencari ilmu dengan cara tirakat-Red). Tujuan mereka berbeda namun pada dasarnya punya esensi sama, yakni ingin ngalap berkah (keselamatan–Red) pada 1 Suro. Harapan mereka dalam setahun mendatang diberi keselamatan dan usahanya lancar serta rezekinya terus mengalir. Barangkali itu beda dengan seorang pejabat yang datang ke Gunung Kawi. Tak sekadar berharap keselamatan atau rezekinya lacar, barangkali kariernya agar bisa melonjak.
HM Sanusi, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Malang, Kamis siang itu–sehari sebelum 1 Suro–muncul di Gunung Kawi. Tak ubahnya peziarah lainnya, pria yang akan mencalonkan diri sebagai bakal calon wakil bupati yang akan berpasangan dengan Rendra Kresna pada pilkada 2010 mendatang itu memanjatkan doa di depan makam Eyang Jugo dan Eyang Iman Sujono. “Ini tak ada kaitannya dengan karir politik. Sebagai orang Islam, kami mendoakan orang yang sudah meninggal. Sekalian melihat persiapan menjelang 1 Suro. Rencananya, kami akan membantu kepelatihan Bahasa Ingris dan menambah penerangan lampu di komplek makam,” tuturnya.
Karena kekuatan magic-nya diyakani cukup kuat, para peziarah tak berani berprilaku aneh di komplek pesarean. Begitu tiba dan sampai akan pulang kembali, yang dilakukan para peziarah hanya berdoa di pesarean Eyang Jugo dan Iman Sujono. Kedua orang itu dipercaya sebagai Wali Allah, yang menyebarkan Islam pertama kali di lereng Gunung Kawi hingga akhir hayatnya. “Beliau berdua itu membawa berkah bagi masyarakat banyak.
Khususnya masyarakat sini, sangat menghormatinya karena bisa memberikan kehidupan. Sudah tiada saja bisa menghidupi masyarakat sini apalagi saat masih hidupnya dulu. Misalnya, kalau 1 Suro seperti sekarang ini, yang datang sekitar 7.000 orang. Warga berjualan makanan, dan oleh-oleh, bahkan rumahnya bisa dipakai penginapan bagi peziarah yang bermalam,” kata Nanang Juwono, Ketua Yayasan Ngesti Gondo, sebuah yayasan yang mengelelo Gunung Kawi, Kamis (17/12) petang.
Keteranan Gunung Kawi yang punya kekuatan magic itu tak hanya menarik wisata lokal, turis asing pun setiap tahun selalu berdatangan. Setahun lalu, ada pejabat Malaysia, yang berziarah ke Gunung Kawi. Bahkan, para jenderal kepolisian dan TNI juga demikian. Namun kedatangan para pejabat itu beda dengan rakyat kebanyakan.
Ada yang pakai pengawalan atau lebih banyak diam-diam biar tak diketahui orang lain. “Mulai jenderal sampai rakyat jelata, jadi langganan ke sini. Kalau politisi dan artis sudah tak bisa dihitung. Ibaratnya, mereka setiap tahun pasti berziarah. Misalnya, pelawak Tarzan dan teman-temannya,” ujar Nanang.
Meski 1 Suro baru dirayakan, Jumat (18/12) siang, namun dua hari sebelumnya, para peziarah sudah berdatangan. Mulai datang berombongan dengan men-carter bus atau naik kendaraan pribadi. Ada yang menginap di hotel atau di rumah warga yang disulap jadi penginapan, ada menghabiskan waktunya dengan melekan di pesarean. Lebih-lebih warga keturunan, 1 Suro dianggap hari yang keramat dan hukumnya wajib datang.
“Ketika saya masih kecil dulu, selalu diajak papi ke sini. Giliran saat ini, saya mengajak anak-anak ke sini supaya saya kenalkan Gunung Kawi. Bahkan, saya tak hanya sekali dalam setahun namun setiap kali ke Malang pasti saya mampir. Apalagi kalau ada masalah terkait usaha, misalya, saya cepat-cepat datang. Tak lama kemudian, usaha saya lancar kembali,” ujar warga keturunan yang punya nama Handoko, 45, pengusaha asal Surabaya ini.
Beda Handoko, beda pula Margono, 45, warga Desa Tambakrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi ini. Sejak tahun 1984, pria yang punya usaha jual beli mesin diesel ini setiap bulan datang ke Gunung Kawi. Malam itu, dia bersama keluarganya menggelar tikar di sebelah pesarehan dan membaca tahlil serta Yasinan, seperti peziarah lainnya. “Alhamdulillah, usaha saya selalu lancar dan ada sisanya,” akunya.
Lain dengan pengalaman Reza Munjiah. Ibu satu anak asal Desa Wirobiting, Kecamatan Prambon, Sidoarjo ini mengaku banyak perubahan dalam hidupnya. Dulunya, masalah selalu datang terutama terkait rumah tangganya. Dua kali datang pada 1 Suro, dia mengaku hidupnya bisa tenang dan masalah sirna dengan sendirinya.. “Kalau saya ke sini, ya sama ketika berziarah ke makam lainnya yakni membaca Surat Yasin kemudian ditambah ritual berjalan mengelilingi pesarehan dengan jumlah ganjil. Selanjutnya, saya duduk mengharap kejatuhan daun atau buah Daru, biar mendapat berkah,” aku Reza Munjiah.
Kalau diamati sepintas memang prilaku orang yang berziarah macam-macam. Ada yang baru sampai di pintu pesarean, mereka langsung menadahkan tangan sambil mulutnya komat-kamit. Namun bagi orang muslim, mereka membaca Surat Yasin atau tahlil bersama keluarganya. Kadang, hanya bancakan tumpeng kecil dengan ayam ingkung. Beda lagi dengan warga keturunan, ritual mereka biasanya menyembelih sapi atau kambing yang dipesan di panitia setempat. Tentunya, harganya jutaan rupiah. _Imam Taufiq
No comments:
Post a Comment