Sunday, 13 June 2010

Keteguhan Hati Sang Penjaga Persimpangan

suarasurabaya.net| Sore itu seperti sore-sore lainnya, dia SUTRIS sudah berdiri di pertigaan Jl. Kutisari Indah Selatan-Kutisari Indah Selatan IV. Memegang tongkat panjang berbendera merah, dia mengatur arus lalu lintas yang mengalir melewati persimpangan itu. Dandanannya masih seperti sore-sore sebelumnya, tetap nyeleneh. Sabtu (12/06) sore itu dandanannya bertema white devil.

“Saya mau menghibur anak-anak. Ini tanduknya terbuat dari styrofoam,” kata SUTRIS. Sore itu separuh tubuh lelaki kelahiran 1958 ini dibalur warna putih dengan bawahan rok dan sepatu kets yang seluruhnya juga berwarna putih. “Tapi kok anak-anak ini malah takut sama saya, ya?” kata SUTRIS tergelak.

Sudah 12 tahun SUTRIS menjalani apa yang disebutnya sebagai profesi ini. Pengatur lalu lintas sekaligus penghibur pengguna jalan di sekitar Kutisari Indah Selatan. Ini diawali sekitar tahun 1998 lalu saat dirinya melintas dengan becaknya di jalan itu.

“Waktu itu saya lihat kok jalan ini macet. Saya ke pertigaan itu, ternyata dari 3 arah ada pengendara mobil yang bertengkar di sana, tidak mau mengalah,” kata dia mengenang.

Peristiwa sore 12 tahun lalu sungguh mengganggu pikirannya malam itu. “Saya tidak bisa tidur berpikir, kenapa orang-orang itu bertengkar dan stress di jalan karena tidak mau mengalah. Malam itu saya bertekad, besok pagi jalan itu harus teratur. Saya harus mengaturnya besok pagi sekaligus menghibur orang-orang di sana supaya tidak stress,” kata SUTRIS.

Mulailah keesokannya sampai Sabtu kemarin, SUTRIS beraksi. Tetap konsisten dengan penampilannya yang tak pernah mirip di setiap harinya Berbekal property seadanya, dia mendandani dirinya sendiri, mirip tokoh wayang, superhero, tokoh politik, kartun, dan lain sebagainya. “Saya sempat mencatat 1.500 lebih variasi kostum saya dalam 4 tahun pertama. Tapi bukunya sudah rusak, kena hujan,” ungkapnya.

Tidak risih dianggap orang gila? SUTRIS menggeleng. Sambil tersenyum dia mengatakan, “Saya malah senang orang anggap saya gila. Berarti mereka terkecoh, supaya mereka tidak menganggap saya melakukan ini demi uang,” kata dia.

Saya ini sudah kaya, kata dia berkali-kali mengucapkan kalimat itu di dalam gubuk sederhananya. Tidak layak disebut bangunan sebenarnya, berukuran sekitar 3 x 2 meter dengan atap seng yang bocor di sana-sini, tidak ada pintu dan penuh dengan barang-barang bekas. “Ini property saya untuk kerja,” kata dia.

Di dekat tembok, banyak buku di dalam kantong kresek digantungkan di tembok. “Ini buku-buku saya. Kalau malam, saya membaca buku sambil dengarkan radio SS,” paparnya. Buku yang dibacanya beragam, mulai pamphlet promosi pusat perbelanjaan, sampai buku teks teori psikoanalisis dan filsafat Jawa. Semuanya ia dapat dari onggokan sampah. “Saya ini kutu buku,” selorohnya.

Inilah kekayaan yang ia sebut berkali-kali itu. Bagi lelaki yang belum pernah menikah ini, hidup yang dijalaninya adalah karunia yang tidak ternilai. Ketika harus memberi kepada yang lain, SUTRIS merasa sudah mengakumulasi kekayaan di dalam hatinya. “Hidup saya bahagia sekali. Saya merasa sehat dan diberi kekayaan begitu banyak oleh Allah SWT,” paparnya.

Prinsip kejujuran dan bersih hati ia terapkan tanpa negosiasi. Pernah ia menemukan sebuah tas ransel sekitar setahun lalu. Tubuhnya bergetar dan takut tergoda karena saat itu dia sedang butuh uang.

Tapi keteguhan hatinya mengantar dia ke studio Suara Surabaya Jl. Wonokritri Besar dengan becaknya. “Saya serahkan ke SS agar disiarkan. Mudah-mudahan pemilik tasnya mendengar dan bisa mengambil. Saya tidak membuka isi tasnya, jadi tidak tahu apa isinya,” imbuh dia.

Akhir-akhir ini memang namanya sedang popular. Di kalangan kampus UK Petra, dia sering jadi obyek proyek akademis mahasiswa. Beberapa media televisi swasta bahkan pernah meliput kisah hidupnya. Ini membuat penghasilannya di jalanan meningkat.

“Akhir-akhir ini pendapatan saya lumayan banyak. Sehari bisa sampai Rp150 ribu,” katanya. Uang yang ia dapat dari pengguna jalan itu dikumpulkan sedikit demi sedikit untuk adik-adiknya. “Saya punya satu adik yang jadi tanggungan. Sedang kuliah dan akhir Juni ini mau wisuda. Kuliahnya saya biayai,” paparnya. Tidak pernah sedikitpun ia berpikir untuk bersenang-senang sampai adiknya itu bisa mandiri.

Stop Obsesi Bertualang
Sejak umur 13 tahun SUTRIS sudah keluar dari rumahnya di Banyuwangi. Lelaki 12 bersaudara ini ingin menggapai obsesinya, keliling Indonesia. Berbagai cara pun ia lakukan agar obsesi itu kesampaian. Diantaranya dengan mendaftar jadi kuli bangunan di tempat-tempat jauh. “Saya sudah pernah kerja jadi kuli di banyak tempat, kecuali di Papua,” kata dia.

Alur hidupnya itu berubah saat krisis ekonomi dan moneter menghantam Indonesia tahun 1997. Saat itu dia sedang bekerja di Kalimantan, proyek pembangunan gedung sebuah bank. Tiba-tiba ia dapat kabar dari sang mandor, proyek dihentikan karena uang dari kantor pusatnya di Jakarta tidak dikirim.

“Waktu itu katanya banyak bakar-bakaran, orang mengamuk,” kata dia. Berbekal uang Rp54 ribu saat itu, dia memutuskan berlayar kembali ke Pulau Jawa, Surabaya jadi tujuannya saat itu.

Sejak tiba di Surabaya, dia tinggal di sebuah tanah kosong Jl. Kutisari Indah Selatan VII. Sebuah gubuk ia dirikan dari bahan seadanya. Untuk menyambung hidup, ia menyicil membeli becak.

Belum lama dia menarik becak, kegalauan-kegalauan melintas di pikirannya, apalagi setelah melihat orang bertengkar di jalan karena lalu lintas yang semrawut. Sejak itulah dia memutuskan menjadi seorang pengatur lalu lintas sekaligus penghibur di pertigaan Jl. Kutisari Indah Selatan, meninggalkan obsesinya, menjadi petualang.(edy)

Teks Foto :
1. SUTRIS sedang mempersiapkan propertynya bekerja.
2. Keluar dari gubuk tempat tinggalnya yang sederhana
3. Berangkat ke tempat kerja di pertigaan Kutisari Indah Selatan.
4. Beraksi mengatur lalu lintas sekaligus menghibur pengguna jalan.
Foto : EDDY suarasurabaya.net

No comments:

Post a Comment