Saturday, 21 May 2011

Musisi Lokal Melawan Pembajakan


 Oleh Giewahyudi |
Berkembang pesatnya pembajakan dalam industri musik tentu mempengaruhi produktivitas musisi dalam bermusik. Bahkan karena kesal dengan pembajakan yang semakin parah, musisi kawakan Iwan Fals pernah “cuti” bermusik selama bertahun-tahun untuk memprotes aksi pembajakan itu. Korban dari maraknya pembajakan adalah perusahaan rekaman Lokananta, perusahaan rekaman musik pertama di Indonesia itu sudah hampir mati suri. Untuk menutupi biaya operasional, perusahaan rekaman yang terletak di Kota Solo ini harus menyewakan beberapa asetnya untuk kantor asuransi dan lapangan futsal.
Di balik lesunya industri rekaman, beberapa musisi di beberapa daerah mempunyai cara tersendiri untuk melawan kejamnya pembajakan. Sewaktu masih tinggal di Kota Padang, saya masih melihat semangat para musisi Minang meski pembajakan ada dimana-mana. Walaupun musisi-musisi nasional selalu berdatangan, saya amati musisi lokal Minang selalu muncul tanpa henti. Dalam acara-acara resmi, misalnya resepsi pernikahan, musik-musik Minang selalu menampilkan artis-artis baru. Artis-artis lokal seperti Edi Cotok, Ajo Andre, Yan Juned, Zalmon, Ucok Sumbara, Boy Sandy, Nedy Gampo, Budi Setiawan “Buset” begitu terkenal dalam musik pop Minang.
Artis-artis lokal Minang ini tetap eksis, bahkan Zalmon mempunyai rekor tersendiri karena albumnya yang berjudul Kasiek Tujuh Muaro berhasil terjual sebanyak 200.000 kopi. Album pop Minang yang fenomenal ini diproduksi di studio rekaman Sinar Padang Record milik Haji Yuskal. Studio rekaman yang bertempat di Jalan Banda Bakali ini merupakan studio rekaman terbesar di Kota Padang. Selain musisi Minang, Sinar Padang Record juga digunakan untuk rekaman musisi dari Jambi dan Sumatra Selatan. Bahkan musisi nasional, seperti Obbie Messakh dan Eddy Silitonga, pernah rekaman di studio ini.
Di salah satu sudut provinsi Jawa Timur, industri musik rekaman bahkan sudah menjadi semacam home industry. Di Kabupaten Banyuwangi, studio-studio rekaman kecil menjamur sampai di desa-desa. Sampai sekarang, lebih dari 50 studio rekaman menyebar di Banyuwangi. Industri studio rekaman di Banyuwangi awalnya dipelopori oleh Victor dengan bantuan modal sebesar 25 juta rupiah dari ayahnya yang bernama Johny M.C. Karena kasihan dengan musisi Banyuwangi yang harus rekaman jauh-jauh ke Surabaya, akhirnya Victor membangun studio rekaman Lharos pada tahun 2002.
Musisi Banyuwangi yang sebelumnya harus mengeluarkan uang minimal 100 juta untuk satu album, sekarang hanya butuh 12 juta untuk rekaman di Banyuwangi. Karena sangat murah, order rekaman membanjiri studio rekaman Lharos sampai Victor kewalahan. Victor kemudian menambah fasilitas studio rekamannya dengan peralatan yang lebih canggih. Perkembangan studio rekaman Lharos juga tidak lepas dari pengaruh Johny M.C. yang ternyata sudah bersinar sebagai produser di Banyuwangi sejak tahun 1985. Sebanyak 50 musisi pernah ditangani Johny M.C., bahkan dua di antaranya, Emilia Contessa dan Nini Carlina, menjadi musisi nasional.
Industri musik lokal ternyata juga berkembang di Kota Bandung. Studio rekaman Whisnu Record telah mengorbitkan penyanyi pop Sunda, “Jacko” Darso dan Nining Meida. Jacko Darso yang mempunyai ciri khas seperti Michael Jackson ini sangat memikat para pecinta musik Sunda. Musisi fenomenal satu lagi yang dilahirkan dari studio rekaman milik Mariska ini adalah Nining Meida. Bahkan album milik Nining Meida berjudul Kalangkang yang dirilis pada tahun 1986 masih menjadi buruan para kolektor musik dan sampai sekarang sudah terjual lebih dari satu juta kopi.
Musisi lokal diam-diam masih melakukan perlawanan. Bayangkan saja, musisi lokal di Banyuwangi bisa merilis 15 album dalam sebulan. Bagaimana perkembangan musik di daerah Anda?
dari (http://giewahyudi.com/musisi-lokal-melawan-pembajakan/)

No comments:

Post a Comment