Sunday 14 February 2010

Pameran Tunggal "Filosopisang" oleh Ki Wahyu Peshang


Dua pengunjung sedang bercengkerama didepan lukisan Kik Wahyu Peshang berjudul "Voice of Indonesia"
| Dua pengunjung sedang bercengkerama didepan lukisan Kik Wahyu Peshang berjudul "Voice of Indonesia" 
| Sejarah itu akhirnya tercipta oleh Kik Wahyu Peshang, seorang seniman kelahiran Banyuwangi, ia bisa melakukan pameran tunggal. Untuk bisa berpameran tunggal sesungguhnya tidak mudah karena dari sisi art-nya, seniman dihadapkan pada banyak persoalan semisal konsep dan hasil karya, eksistensi dan tidak lupa keterkenalan.
Kik Wahyu dengan percaya diri yang kuat, ia menabalkan niat dan menguatkan langkah untuk berpameran tunggal. Ia percaya filosopi pisang yang selama ini menjadi isme dalam setiap karya lukisanya sudah saatnya ia pertontonkan kepada publik seni di Yogyakarta.
Akhirnya jadilah Sabtu (13/2) malam, ruang pamer Bentara Budaya Yogyakarta menjadi saksi sejarah Kik Wahyu berpameran tunggal dengan judul “Filosopisang” yang akan ia gelar hingga 21 Februari mendatang.
Pengunjung sedang memperhatikan karya instalasi "Shadow of Paradise" karya Kik Wahyu Peshang yang menceritakan dunia yang sebenarnya bisa menjadi surga yang ternyata dipenuhi kekerasan dalam banyak bentuknya.
Pengunjung sedang memperhatikan karya instalasi "Shadow of Paradise" karya Kik Wahyu Peshang yang menceritakan dunia yang sebenarnya bisa menjadi surga yang ternyata dipenuhi kekerasan dalam banyak bentuknya.
Pisang, bagi Kik Wahyu banyak mempunyai manfaat begitu banyak mulai dari daun, pohon maupun buah pisang itu sendiri. Bahkan pohon pisang mempunyai keajaiban dengan selalu tumbuh lagi pohon pisang yang baru (tunas) setelah pohon pisang yang lama menua dan atau setelah dipakai manusia.
Kik Wahyu melihatm seluruh kehidupan pohon pisang yang utama bukan untuk dirinya, melainkan untuk orang lain,” kata Ons Untoro, penulis pameran “Filosopisang”. Dari makna itu Kik Wahyu kemudian merumuskan makna hidup pohon pisang dan membentuknya sebagai pisangisme.
Kik Wahyu menghadirkan semua bagian pisang dalam berbagai amcam visual karya sekaligus beragam kenyataan dan persoalan kehidupan. Kik Wahyu misalnya memamerkan karya “Voice of Indonesia” yang memvisualkan enam kerangka pisang membentuk sosok-sosok pemimpin yang pernah menjadi Presiden RI.
Kik Wahyu Peshang juga menghadirkan empat panel lukisan berjudul " Explosive" menggambarkan realitas hidup-pribad,sosial dan politik- masyarakat seperti persoalan minyak dan gas, demokrasi serta hubungan pribadi serta kegembiraan.
Kik Wahyu Peshang juga menghadirkan empat panel lukisan berjudul " Explosive" menggambarkan realitas hidup-pribad,sosial dan politik- masyarakat seperti persoalan minyak dan gas, demokrasi serta hubungan pribadi serta kegembiraan.
Detil daun pisang yang ada dalam lukisan ini begitu rapi memberikan nuansa art pada masing-masing tubuh yang membawa megaphone dengan gaya berbeda-beda. Masing-masing gaya menunjukkan “karakter” dari bersangkutan.
“Misalnya pemimpin pertama yang menggunakan megaphonenya untuk bicara, menunjukkan kalau pemimpin bersangkutan banyak melakukan agitasi pada rakyatnya dan lupa membangun negaranya,” kata Ons.
Seorang pengunjung memperhatikan lukisan Kik Wahyu berjudul "The Winner" yang menggambarkan seorang pemimpin tertutupi matanya sehingga ia hanya memimpin dengan kekuatan fisiknya tidak dengan panca inderanya.
Seorang pengunjung memperhatikan lukisan Kik Wahyu berjudul "The Winner" yang menggambarkan seorang pemimpin tertutupi matanya sehingga ia hanya memimpin dengan kekuatan fisiknya tidak dengan panca inderanya.
Dari enam sosok tubuh “daun pisang’ itu diakhiri selembar hijau muda daun pisang segar. Daun pisang itu berdiri tegak laiknya manusia sementara megaphone tergeletak dibawahnya. “Daun pisang segar dan sebuah megaphone berarti harapan akan sosok pemimpin masa depan yang tegas, dapat mengayomi dan mensejahterakan masyarakatnya,” kata Kik Wahyu.
Kik Wahyu juga menghadirkan karya “Human Line’ yang memvisualkan daun pisang kering yang terbakar. Sementara pita kuning tampak menali daun pisang kering itu dengan tulisan human line-global warming.
Instalasi "Perahu Pisang" karya Kik Wahyu Peshang"
Instalasi "Perahu Pisang" karya Kik Wahyu Peshang"
Dengan menggunakan daun pisang kering terbakar itu, Kik Wahyu seperti hendak memberikan kritik terhadap segala rupa tingkah laku manusia yang merusak lingkungan sehingga bumi seantero jagad menjadi panas. Manusia menjadi lupa dengan perilaku kejamnya itu, mereka sedang meletakkan hidupnya pada garis akhir menuju bahaya kehidupan kemanusiaannya.
Kik Wahyu menghadirkan lukisan dengan makna mendalam dalam karya “Story of Metamorphosis” yang berisi tiga panel lukisan saling berurutan mulai dari gambar beberapa daun pisang tua dengan warna hijau, kemudian daun pisang itu mulai mengering hingga terakhir dari daun pisang kering itu muncul sosok anak kecil dengan tangan bergerak lincah.
Kik Wahyu sedang melogikakan kelahiran seorang anak dari rahim ibunya melalui tiga panel lukisan daun pisang yang berubah warna itu. Sangat mustahil daun pisang menjadi media metamorphosis namun pisang dengan segala hal yang ada didalamnya mampu membantu manusia untuk “bermetamorphosis”.
Lukisan "Human Line" karya Kik Wahyu Peshang.
Lukisan "Human Line" karya Kik Wahyu Peshang.
Kecuali  seni lukis, Kik Wahyu juga membuat beberapa karya instalasi dari bagian-bagian pisang. Misalnya dalam judul “Di Atas Angin” dan “Shadow in Paradise”.
Visual “Di Atas Angin”menunjukkan  perahu berbentuk kulit pisang yang melayang diatas dedaunan pisang. Dalam imajinasi Kik Wahyu, perahu ini siap mengantarkan siapa saja yang masih mempunyai harapan untuk terus berjalan menemukan fajar baru.
“Rupanya kapal Nabi Nuh, yang mengantarkan kehidupan baru menginspirasi Kik Wahyu dan dia mengambil pisang untuk mereproduksi mimpi-mimpinya,” kata Ons Untoro.
Semua lukisan dan instalasi Kik Wahyu Peshang yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta ini secara visual maupun pesan sesungguhnya nyaris selesai. Kik Wahyu tinggal berhadapan dengan penikmat-pecinta visual “pinsangisme” yang ia bawa. (The Real Jogja/joe) 
(dikutip dari jogjanews.com)

No comments:

Post a Comment