
Penulis : Heru S.P. Saputra
Penerbit : Lkis, Yogyakarta
Cetakan : I September 2007
Tebal : xli + 394 halaman
Dalam konteks Indonesia 'kuno', mantra merupakan salah satu hal yang tidak asing lagi. Konon, hampir setiap hari nenek moyang, yang pada zaman itu sudah mengenal dan meyakini adanya kekukatan-kekuatan dari benda-benda non fisik yang sifatnya ghaib, selalu melibatkan mantra dalam melancarkan aktivitas mereka. Mulai dari aktivitas yang ada hubungannya dengan sesama manusia, binatang hingga alam raya.
Dalam buku yang berjudul Memuja Mantra; Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using, Banyuwangi ini, Heru S.P. Saputra menyajikan hasil penelitian tentang mantra suku Using, yang diselenggarakan di desa Kemiren, Olehsari dan Mangir yang ketiganya berada daerah kawasan Banyuwangi, Jawa Timur. Dalam konteks ini, untuk memperoleh hasil penelitian yang bagus dan berkualitas, Heru hanya intens dan membatasi penelitian pada jenis mantra santet jenis Sabuk Mangir dan Jaran Goyang. Kedua jenis mantra ini merupakan jenis mantra santet yang paling disukai dan sering diinternalisasikan masyarakat suku Using dalam aktivitas sehari-hari.
Menurut Heru, mantra adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya ghaib, atau susunan kata berunsurkan puisi yang dianggap mengandung kekuatan ghaib dan biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan ghaib yang lain (hlm. 95). Dalam perkembangannya, mantra secara global dapat dipilah menjadi dua jenis. Pertama, mantra Sihir, yakni jenis mantra yang dalam prekteknya hanya bisa digunakan Si pelaku untuk menyihir (mempengaruhi, mengganggu bahkan membunuh) objek yang dijadikan korban.
Kedua, mantra Santet, menurut masyarakat suku Using Santet merupakan penyempitan kata dari bahasa Jawa; mesisan kantet (sekalian/supaya lengket) atau mesisan bentet (sekalian/supaya retak atau cerai). Disebut mesisan kantet, apabila jenis "mantranya" digunakan untuk menyatukan, menjodohkan hingga mendamaikan sesuatu yang dikehendaki oleh Si Penyantet terhadap objek. Begitu juga sebaliknya, disebut mesisan bentet, ketika Si Penyantet memanfaatkan mantranya untuk kepentingan memisahkan, mengadu domba hingga mempengaruhi "kewarasan berfikir" objeknya.
Ironisnya, klasifikasi istilah mantra yang terbagi menjadi mantra Sihir dan Santet ini, sering mendapat perhatian dan pemahaman yang 'menyimpang' oleh generasi zaman sekarang. Mantra Sihir dan Santet dianggap sebagai mantra yang memiliki fungsi yang sama, bahkan mereka tidak segan-segan mengklaim bahwa mantra merupakan suatu hal yang hanya memiliki fungsi negatif dan cenderung merusak tatanan kehidupan. Semisal, terjadinya tragedi pembantaian massal dukun-dukun masyarakat suku Using pada tahun 1998 silam.
Santet Sabuk Mangir dan Jaran Goyang
Dalam konteks mantra Santet, yang paling berlaku hingga turun temurun dari generasi ke generasi suku Using adalah mantra Santet jenis Sabuk Mangir dan Jaran Goyang. Kedua jenis mantra Santet ini, sama-sama memiliki daya kekuatan untuk mempengaruhi objek yang disantet, tetapi dalam proses dan hasil penyantetat keduanya cenderung berbeda. Sabuk Mangir (SM) terkesan halus, pelan dan membutuhkan beberapa hari untuk menuai tujuan penyantet (hlm. 109). Dari sifatnya yang lambat nan pasti itu, resiko terdeteksinya penyantet -oleh pemerhati korban Santet, lebih kecil dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk membongkar sindikat intervensi terselubung tersebut.
Berbeda dengan Jaran Goyang, hasil dan tujuan penyantet terhadap korban santet lebih cepat bereaksi tanpa membutuhkan waktu yang cukup lama hingga berhari-hari. Tetapi, jenis mantra yang tergolong instant dan kasar ini, lebih besar kemungkinan penyantet dapat segera terdeteksi. Pasalnya, selain para pemerhati korban santet cenderung cepat menaruh kecurigaan terhadap tingkah laku korban yang tiba-tiba berubah dari kebiasaannya sehari-hari, korban penyantetan berkemauan kuat untuk segera mencari dan ingin bersanding selamanya dengan penyantet. Apabila korban tidak sanggup mencari atau menemukan penyantet dirinya, korban akan selalu terlihat murung dan menyebut-nyebut nama penyantet, bahkan dalam kondisi yang paling parah korban tidak segan-segan mencari dan menanyakan nama penyantet diiringi pernyataan cinta, menyesal dengan suara-suara yang keras dan teriak-teriak.
Dari perbedaan efek yang ditimbulkan kedua jenis mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang tersebut, dipengaruhi oleh potensi kekuatan magi yang berbeda-beda pula. Magi adalah sesuatu yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan ghaib dan dapat menguasai alam sekitar, termasuk alam pikiran dan tingkah laku manusia (hlm. 122). Menurut Heru, mantra Santet Sabuk Mangir berpotensi kekuatan magi kuning, sementara mantra Santet Jaran Goyang berpotensi kekuatan magi merah (hlm. 121-122). Mantra bermagi kuning dalam praktek penggunaannya didasari ketulusan hati dan bermaksud baik, biasanya hanya terbatas pada hubungan antar individu. Sementara, mantra bermagi merah didasari keinginan untuk memanjakan hawa nafsu dengan tujuan agar korban tersiksa batin dan fisiknya, biasanya dilakukan pelaku karena ada unsur kekecewaan dan balas dendam.
Buku yang membahas khazanah lokal suku Using ini, secara jelas telah menyajikan sejarah mulai munculnya mantra di tengah masyarakat suku Using hingga penyalah gunaan fungsi mantra yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tetapi, dari sekian halaman yang membahas seluk beluk mantra suku Using, Heru S.P. Saputra tidak menjawab pertanyaan yang secara tidak langsung termuncul akibat penjelasannya sendiri, yakni mengapa pada masa penjajahan dan peperangan yang pernah mempora-porandakan suku Using hingga tersebar diberbagai daerah, fungsi mantra Sihir tidak digunakan menghancurkan penjajah atau menggunakan fungsi mantra Santet untuk mendamaikan antara rakyat bumi putra dengan colonial penjajah sehingga terjadi perdamaian?. Semoga pada buku dan kesempatan yang lain penulis mampu menjelaskan semuanya.***
Sumber : [ Jurnalnet ]
No comments:
Post a Comment