Sunday, 11 September 2011
Menikmati Afrika di Ujung Jawa
Kicau burung menyambut kemunculan sang surya di Taman Nasional Baluran, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, Sabtu (3/9/2011) lalu. Kabut pun belum benar-benar hilang saat matahari mengintip dari balik cakrawala. Udara masih terasa dingin menusuk tulang, ketika roda mobil perlahan menapak jalan aspal yang sudah bopeng-bopeng. Pepohonan di kiri kanan jalan tampak meranggas.
Sekitar lima kilometer dari pintu masuk TN Baluran di desa Batangan, barulah nampak hijaunya pohon. Diawali dengan papan nama ‘Evergreen Forest’ yang menandai kawasan hutan hujan tropis (ada pula yang menyebutnya hutan musim dataran tinggi), berikutnya perjalanan dilingkupi suasana segar. Rimbunan pepohonan di area itu memang selalu hijau sepanjang tahun. Sesekali terlihat burung-burung melintas jalan.
Tiba-tiba seekor burung merak menari di pinggir jalan. Wow... bulu-bulunya cantik, dihiasi warna hijau, putih dan hitam. Ekornya kadang mekar bak kipas yang merekah indah. Itulah salah satu kekayaan fauna di TN Baluran yang menyuguhkan pesona tersendiri.
Setelah 12 kilometer menjelajah hutan, mulai terlihat hamparan savanna alami bak alam di Afrika. Ya, TN Baluran memang dikenal sebagai miniatur Afrika di bagian Timur Pulau Jawa. Eksotisme padang savanna itu memang mirip dengan iklim dan suasana di benua Afrika. Ke sanalah kami mengarahkan mobil, untuk sejenak menikmati sensasi alam Afrika di Pulau Jawa.
TN Baluran berada di ujung Tenggara pulau Jawa, masih termasuk wilayah Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Taman Nasional itu merupakan satu-satunya kawasan yang memiliki padang savanna terluas di pulau Jawa. Hamparan rumput kering dengan suhu panas itu merupakan replika dari savanna tropik yang ada di benua Afrika. Luasnya sekitar 10 ribu hektar atau lebih kurang 40% dari luas seluruhan kawasan tersebut.
Sejatinya, kawasan Baluran memiliki ekosistem yang cukup lengkap, mulai dari hutan Mangrove, hutan Rawa, hutan Savanna dan hutan Musim dataran tinggi dan dataran rendah. Memasuki kawasan itu dari pintu utamanya di desa Batangan, diawali dengan melintasi beragam tipe hutan, mulai dari hutan kering meranggas saat kemarau, hingga rimbunan pepohonan hutan hujan tropis, yang dikenal dengan istilah 'evergreen forest'.
Layaknya menyusuri alam pegunungan, suasana alami hutan sangat terasa. Aroma dedaunan, wangi tanah lembab tercium tatkala melintas di hutan yang hijau sepanjang musim itu. Pemandangan menarik lain sepanjang perjalanan menuju pos Bekol, selain dapat dijumpai beragam pohon alami yang tumbuh liar, ditemui pula fauna yang juga liar hidup di kawasan seluas 25.000 Ha itu.
Dari keseluruhan luas Baluran, sekitar 3.750 Ha berupa wilayah perairan. Di sebelah utara TN Baluran berbatasan dengan Selat Madura, sebelah Timur dengan Selat Bali, sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Bajulmati dan sebelah barat berbatasan dengan Sungai Kelokoran.
Pada jaman penjajahan, status Baluran adalah Suaka Marga Satwa. Daerah eksotik itu kemudian berkembang menjadi Taman Nasional sejak 1975, setelah adanya konferensi internasional mengenai konservasi di New Delhi, India. Sejak itu, Indonesia turut mengadopsi strategi konservasi yang telah diterapkan seluruh dunia, dengan mengembangkan beberapa area di tanah air menjadi taman Nasional.
Selain Baluran, kawasan lain yang ditetapkan sebagai Taman Nasional di antaranya Bali Barat, Bromo-Tengger, Rinjani, dan Gunung Mutis di Nusa Tenggara Timur. Baluran sendiri resmi ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan surat keputusan Menteri Pertanian no. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982.
Iklim di Baluran secara umum bertipe Monsoon yang dipengaruhi angin Timur kering. Dari data curah hujannya berkisar antara 900 - 1600 mm/tahun, dimana bulan kering per tahun rata-rata 9 bulan. Sementara sekitar bulan Agustus sampai dengan Desember biasanya bertiup angin cukup kencang dari arah Selatan. Di bagian tengah kawasan ini terdapat Gunung Baluran yang tidak aktif. Sementara di bagian pinggir dari kawasan ini terdapat hutan Jati, yang biasa dikenal sebagai kawasan penyanggah.
Baluran juga menyimpan potensi satwa yang sangat beragam. Seperti banteng, rusa, kerbau, babi hutan, merak dan ajag (anjing hutan), bahkan ayam hutan. Namun saat ini binatang-binatang liar itu terus mengalami penurunan jumlah.
Taman nasional tertua di Indonesia itu menjadi rumah terbaik bagi beberapa jenis burung yang terancam punah. Di antaranya walet ekor jarum (Hirundapus caudacutus) dan merak hijau (Pavo muticus), yang menurut IUCN pada 2009 dimasukkan dalam status Endangered. Apakah hal itu kabar buruk atau kabar baik, yang jelas burung yang sudah sangat langka secara global itu masih cukup mudah dijumpai di Baluran. Menurut catatan pengelola TN Baluran, ada 175 jenis burung yang menghuni kawasan ini, termasuk jenis endemik Jawa Bali seperti Jalak abu (Sturnus melanopterus) dan Raja udang (Halcyon cyanoventris).
Binatang mamalia besar yang merupakan satwa langka sekaligus dijadikan maskot Taman Nasional Baluran adalah Banteng (Bos javanicus). Kemudian ada juga Anjing hutan/Ajag (Cuon alpinus), Babi hutan (Sus sp), Kijang (Muntiacus muntjak), Macan tutul (Panthera pardus ), Macan kumbang (Felis pardus), Kerbau liar (Bubalus bubalis), Lutung (Presbytis cristata), Kera abu-abu yang berekor panjang (Macaca fascicularis), dan lain-lain.
Di awal orientasinya, Baluran merupakan satu kesatuan dengan kawasan Maelang di sekitar Jember, dan Meru Betiri di bagian selatan kabupaten Banyuwangi. Baluran bagian utara memiliki potensi savanna dengan beragam satwanya. Sementara daerah Maelang yang rencananya dijadikan taman burung. Nah, ketiga wilayah areal ini memajang dari pantai utara hingga ke pantai selatan.
Mulanya ketiga kawasan dijadikan satu, karena masih menjadi daerah jelajah Harimai Jawa. Dalam perkembangannya, bentangan terputus di kawasan Maelang. "Dalam istilah ekologi disebut dengan fragmentasi habitat, sehingga yang terjadi kawanan Harimau Jawa tersebut terputus dari sumber makanannya di Baluran," ungkap Dodi, yang mantan Sekjen Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan.
Otomatis harimau langka itu sekarang hanya tertampung di kawasan Meru Betiri. Alasan lain, menurut Dodi, ternyata kawasan Meru Betiri tidak cukup menampung pertumbuhan jumlah Harimau Jawa, sehingga populasinya makin menurun. Dodi yakin, Harimau Jawa sekarang sudah punah. Namun, menurutnya, dibutuhkan riset untuk membuktikannya. Pada 1978, dia pernah menemukan jejak tapak Harimau yang berukuran di atas 17 Cm. Dodi meyakini, itu jejak Harimau Jawa yang popuper dengan nama lokal Harimau Loreng. Itulah jejak Harimau Jawa terakhir yang ditemukan.
Kini Baluran telah berdiri sendiri dengan segala potensi keanekaragaman alaminya. Konon macan Tutul dan macan Kumbang masih ada di sana. Namun, kenyataan yang ada sekarang menggugah kekhawatiran. Anjloknya populasi satwa liar memunculkan kekhawatiran bahwa satwa-satwa eksotik di sana bakal musnah. Alhasil, pesona savanna Afrika di pulau Jawa dilingkupi pertanyaan besar: akankah eksistensinya tetap bertahan kelak? (HP)
Labels:
Pariwisata
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

 
No comments:
Post a Comment