Thursday, 18 March 2010

Andik Sutrisno, Penjahit asal Banyuwangi yang jadi langganan PM Papua Nugini






Jaminkan Gunting untuk Makan, Kini Tinggal di Hotel | 

Keahlian menjahit telah mengantar Andik Sutrisno berkelana hingga ke negeri seberang,
Papua Nugini. Bahkan, jika perdana menteri dan para menteri di negara itu membuat jas,
mereka selalu memesan kepada Andik.
Andik Sutrisno benar-benar tak menyangka kemampuannya menjahit mengantar dirinya
 hingga ke Papua Nugini (PNG). Lebih tak menyangka lagi, dia bisa bertemu langsung dan
 foto bareng dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Itu terjadi ketika SBY
dan rombongan berkunjung ke PNG pada Jumat pekan lalu (12/3). ''Saya, SD saja tidak
tamat. Kalau saya sarjana, tidak heran bisa foto jejer dengan presiden. Saya sangat
 bersyukur,'' kata Andik bangga saat berbincang dengan Jawa Pos (induk Jambi Independent).
Saat kunjungan presiden RI ke Papua Nugini itu, nama Andik Sutrisno sudah didengar
wartawan sebelum acara ramah tamah SBY dengan WNI di Port Moresby (ibu kota PNG).
Di PNG, peran Andik tak bisa dianggap remeh. Dialah penjahit baju-baju yang dikenakan
Perdana Menteri (PM) PNG Michael Somare. ''Saya yang membuat baju PM sampai
menteri-menteri,'' kata pria asal Banyuwangi, Jawa Timur, itu.
Khusus untuk Somare, lanjut Andik, pakaian yang dikenakan cukup khas. ''Dia lebih
sering memakai lap-lap (sejenis rok) sebagai pasangan jas. Itu menunjukkan akar budaya
melanesianya,'' cerita Andik. Lap-lap itu pula yang digunakan Somare saat mengadakan 
pertemuan bilateral dengan SBY di Hotel Crown, Port Moresby (12/3).
''Itu memang kesukaannya. Saya belum pernah membuatkan celana untuk PM,'' ungkap Andik.
''Kalau kancing lepas, saya juga yang betulin,'' ujarnya. Untuk keperluan itu,
dia membeli di sebuah toko yang terjamin kualitasnya di kawasan Gadjah Mada, Jakarta.
Pekerjaan menjahit jas pejabat PNG itu dia jalani sendiri. Mulai mengukur, membuat pola,
hingga memasang kancing. ''Pekerjaan saya kelas internasional. Cuma saya tidak sekolah
 khusus,'' katanya, lantas tertawa. Tidak hanya menjahit, Andik juga menyiapkan sendiri
 bahan-bahannya.
Ayah empat anak itu tidak tiba-tiba bisa menjalani pekerjaannya sebagai penjahit
''internasional'' bagi pejabat di PNG. Bahkan, keputusannya belajar menjahit
dilatabelakangi kondisi ekonomi orang tuanya. ''Ekonomi (keluarga) kurang bagus.
Saya tidak bisa melanjutkan sekolah,'' ujar Andik yang hanya mengenyam sekolah
hingga bangku kelas V SD.
Meski demikian, Andik sebenarnya cukup berprestasi. ''Ya, di sekolah masih
 dapat ranking,'' katanya.
Pria asal daerah Balokan, Banyuwangi, itu lantas melanjutkan hidupnya dengan
bekerja sebagai kuli bangunan. Sebelumnya, dia juga sempat mencoba peruntungan
dengan berjualan es. Seiring berjalannya waktu, dia terdorong untuk menentukan
usaha hidup yang lain.
 Andik mulai melirik pekerjaan sebagai penjahit. ''Saya harus belajar menjahit.
Bekerja tidak kepanasan dan tidak kehujanan,'' terang Andik.
Itu pun tidak dijalani dengan mudah karena tidak ada biaya dari orang tua untuk
belajar menjahit. Dia harus menabung dari hasil bekerja sebagai kuli bangunan.
Baru pada 1985, Andik belajar menjahit di Balokan. Berbekal keahlian menjahit itu,
 dia memutuskan pergi ke Bali. Ketika itu November 1985. Namun, karena tidak
ada tujuan pasti, Andik kebingungan menentukan langkah kakinya. Sempat duduk-duduk 
di pinggir Pantai Kuta, dia berpikir harus tidur di mana. ''Sampai menjelang magrib, saya
ke kantor polisi, numpang tidur,'' kenangnya.
Pada hari-hari berikutnya, Andik mulai berjalan kaki mencari pekerjaan. Akhirnya dia
diterima bekerja di PT Palm, Sanur. Andik 
benar-benar merangkak dari nol. Saat di Sanur, dia mengalami masa-masa sulit. Misalnya,
saat menunggu gajian. ''Saya tidak bisa makan. 
Kadang hanya sekali sehari. Gunting saya titipkan di warung (sebagai jaminan),'' katanya
miris. Ketika itu 1986, dia mendapat bayaran Rp 15 ribu-Rp 20 ribu per minggu untuk
menjahit borongan.
Andik tidak menyerah. Dia terus menekuni pekerjaannya. Ilmunya di bidang menjahit
bertambah. Hasil jahitannya juga diekspor ke luar negeri. Relasinya pun semakin luas.
Salah seorang di antaranya, seorang konsultan desainer dari Jepang. ''Saya dikasih bahan-bahan
 untuk belajar,'' kata Andik.
Dia sempat berpindah-pindah tempat bekerja hingga ke Kuta. Terakhir dia bekerja di
Merino, sebuah perusahaan baru di kawasan Legian. ''Tiga tahun saya di sana,'' katanya.
Pada 1999, seseorang mengajak Andik mengadu peruntungan di Brunei Darussalam.
Pekerjaannya masih sama, menjahit. Namun, yang dilayani adalah kalangan elite di sana.
 ''Bos saya punya salon dan merias keluarga kerajaan. Jadi, saya ikut mendesain baju untuk 
orang-orang elite,'' urai Andik.
Tapi, itu tak berlangsung lama. Pada Maret 2000, dia kembali ke Pulau Dewata dan bekerja
 di Martan Lansadi, salah satu tailor terbaik
 di Bali. Tugas Andik, antara lain, membuat baju pengantin. Namun, peristiwa bom Bali
mengakibatkan pelanggannya surut.
Nah, di situlah awal Andik ke PNG. Seorang customer-nya, Kevin Yaxley, yang merupakan
 bos tailor(penjahit) Artisan Airways Hotel
 di Port Moresby menawari Andik untuk bergabung. Awalnya Andik ragu karena lebih
suka ke Australia. Tapi, akhirnya dia berangkat
 pada 11 Mei 2006. ''Semua biaya ditanggung, tinggal berangkat. Saya tinggal kirim aplikasi
dan paspor,'' jelas Andik yang bisa berbahasa Inggris secara otodidak.
Saat berangkat, Andik berpikir semuanya sudah siap. Tapi, dugaannya salah. Hanya ada
 toko yang masih kosong. Dia juga sempat bergumam, mana ada orang di PNG yang mau
buat jas, berbeda dengan di Bali. ''Tapi, oke, saya coba. Toh, saya tidak mengeluarkan 
biaya. Lalu, saya disuruh bos untuk cari barang,'' katanya. Semua contoh bahan dia bawa.
Keadaan berubah saat pembukaan tailor. Undangan yang hadir adalah kalangan menengah
 ke atas. Andik menjadi kenal dengan pejabat-pejabat di PNG. Bahkan, hingga kini, relasinya
kadang dibagikan ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Port Moresby.
''Kalau orang KBRI perlu nomor-nomor orang parlemen, minta ke saya. Saya orang kecil.
Tapi, saya senang karena sangat dihargai,'' paparnya.
Selama empat tahun tak terhitung jas yang telah dibuat Andik. Satu jas diselesaikan dalam
 lima hari. Kadang dia harus lembur jika 
akan ada kunjungan pejabat ke Australia. Satu setel jas buatan Andik dihargai empat ribu
kina (1 kina = Rp 3 ribu). ''Orang sini kalau sekali membuat jas bisa tiga hingga empat,
jadi bisa sampai 16 ribu kina,'' ungkapnya.
Dari perusahaan tempatnya bekerja, awalnya Andik menerima bayaran USD 600
per bulan. Tapi, kini sudah meningkat hampir lipat dua. Lama-lama naik, ya USD 1.000
lebih sedikit,'' ungkapnya tanpa merinci.
Dia mengatakan mendapatkan tawaran bekerja dari salah seorang menteri, namun belum
bersedia. ''Bos saya terlalu baik, sering diajak makan malam dengan menteri-menteri,''
urai Andik. Selama empat tahun ini pula dia tinggal di Airways Hotel.
Namun, untuk pejabat KBRI Port Moresby, Andik mengatakan belum pernah membuatkan
jas. ''Dubes saja belum pernah saya jahitin. Tapi, beliau senang dengan saya,'' katanya.
Meski menjadi kepercayaan pejabat di PNG, Andik masih menyimpan keinginan untuk
 bisa kembali ke tanah air. Sebab, jauh dari istri dan empat anaknya dirasakan berat.
 ''Awalnya saya tidak mampu, tapi harus bertanggung jawab dengan istri dan anak-anak. 
Tapi, saya tidak mungkin terus hidup di sini. Seenak-enaknya hidup di negeri orang lebih
enak di negeri sendiri,'' tuturnya.
Hingga kapan di PNG? Andik belum bisa memastikan. Dia menunggu anaknya lulus bangku
SMA. Saat ini anak sulungnya sudah rampung studi dan tengah mengikuti training
 (pelatihan)di Jepang. Anak kedua dan ketiga masih SMA, sementara si bungsu di SD. 
''Saya harus mikir supaya anak bisa sekolah, jangan sampai seperti saya,'' terang Andik.
Selama ini, Andik pulang sekali setahun, tiap Lebaran. Biasanya dia di rumah 25 hari.
''Istri saya juga tidak mau ditinggal lama-lama,''
 ujar Andik yang memiliki tanggal lahir tercatat di paspor 7 September 1965 itu.
Soal kelahirannya itu, dia menyatakan tak tahu pasti.
 ''Ya maklum, orang kampung dulu,'' katanya.(*) 




DITULIS OLEH NAUFAL WIDI A.R., PORT MORESBY   
KAMIS, 18 MARET 2010 16:35 | 

No comments:

Post a Comment