Sunday, 7 November 2010

Rehabillitasi Citraan Genjer-genjer


KabarIndonesia - Genjer-genjer mlebu kendil wedange gemulak/Setengah mateng dientas yong dienggo iwak/Sego nong piring sambel jeruk ring ngaben/Genjer-genjer dipangan musuhe sego. (Genjer-genjer dimasukkan dalam kuali panas/Setelah setengah matang diangkat untuk lauk/Nasi di piring dan sambel jeruk di atas cobek/Genjer-genjer dimakan bersama nasi)

Itulah bait penggalan lagu Genjer-genjer karya seniman Banyuwangi, Muhammad Arif dan dipopulerkan oleh Bing Slamet. Jika pembaca adalah generasi yang hidup di era 1960-an akrab dengan lagu ini. Dalam film “Gie” dendang Genjer-genjer juga terdengar, dilantunkan para simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjelang peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.

Tak dipungkiri, fenomena ini menghadirkan citra sosial tersendiri untuk lagu Genjer-genjer. Jika Anda melantunkan lagu yang bercerita soal kemelaratan warga Banyuwangi di masa pendudukan Jepang itu sekarang, tak akan ada dampak apa-apa, kecuali mungkin tatapan aneh lingkungan sekitar yang menduga Anda sebagai anak yang dilahirkan dari rahim ibu pengikut Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) atau setidaknya simpatisan dari PKI. Namun jika lagu itu dinyanyikan menjelang peristiwa G30S, maka petaka menjadi takdir yang menghampiri.

Sistem (baca; kemauan) politik penguasa–ketika itu—memosisikan lagu Genjer-genjer sebagai ikon kominitas politik yang dilarang penguasa, yakni PKI. Mungkin spirit ‘kejelataan’, kemelaratan, dan penindasan nasib rakyat kecil yang tercermin dalam syair Genjer-genjer menginspirasi kalangan PKI dan menggunakan lagu tersebut sebagai pemantik soliditas gerakan. Jadilah lagu karya Muhammad Arif dilantunkan di setiap pertemuan petinggi PKI dan seluruh organisasi underbow-nya.

Akhirnya, lagu Genjer-genjer yang tercipta jauh sebelum 1965 pun menjadi ikon PKI. Siapapun yang menyanyikan dianggap ‘fans berat’ PKI.

Stigma Politis
Orde Baru melarang lagu tersebut. Pengharaman ini dilakukan melalui berbagai cara hingga muncul stigma atau ketakutan masyarakat jika menyimpan, mendengarkan, atau menyanyikan karya lagu daerah tersebut. Maklum lagu Genjer-genjer oleh Orde Baru dicap sebagai soundtrack-nya PKI.

Jika dicermati, lagu tersebut sebenarnya tercipta karena keprihatinan para seniman yang melihat penderitaan rakyat yang kekurangan pangan akhirnya mengkonsumsi Genjer yang dianggap sebagai tanaman gulma (pengganggu) di sawah-sawah di kawasan Banyuwangi Jawa Timur.

Tanaman Genjer (Limnocharis flava) adalah tanaman yang banyak tumbuh di rawa-rawa atau tanah berlumpur yang banyak mengandung air. Oleh sebagian orang tanaman ini banyak digunakan untuk lalapan maupun dibikin sayur bobor serta pecel.
Fenomena manusia memakan Genjer banyak diawali sewaktu masa pendudukan Jepang dulu. Karena sangat kekurangan makanan maka apapun dimakan pada saat itu. Dan ternyata memakan sayur Genjer itu bagus.

Terlepas segala khasiat tanaman Genjer, yang jelas telah terjadi pemelintiran wacana politik –oleh Orde Baru—terhadap lagu Genjer-genjer. Dalam logika politik, jika ingin melarang sesuatu (seseorang atau organisasi) harus ada ‘kambing hitam’ yang lekatkan kepada sesuatu tersebut. Lagu Genjer-genjer adalah korban politik karena terlalu melekat (baca; identik) dengan PKI. Partai yang diharamkan Orde Baru. Padahal baik pencipta, pelantun, ataupun siapapun yang terlibat dalam proses penggarakan lagu tersebut, bukan PKI. Lagu Genjer-genjer lahir jauh sebelum tahun 1965.

Sebagai karya seni, Lagu Genjer-genjer perlu direhabilitasi secara politis agar sebagai karya seni tetap memiliki kedudukan sama dengan karya-karya seni lainnya. Rehabilitasi citraan harus segera dilakukan untuk menghilangkan kesan ‘buruk dan menyeramkan’ lagu tersebut. Kembalikan fungsi cipta dan karya seni sebagai proses independen (nir kepentingan) yang bertujuan merefleksikan situasi sosial. Kemelaratan dalam lagu Genjer-genjer adalah kenyataan bangsa ini ketika itu. Kenyataan yang harus segera diperhatikan oleh pemerintah atau penguasa.

Tetapi akibat perang kepentingan politik, lagu Genjer-genjer terimbas dan ikut dilibas. Ironisnya, hingga kini belum ada niat –dari penguasa—untuk merehabilitasi citra sosial karya fenomenal tersebut. Siapa yang tidak tahu lagu Genjer-genjer? Bisa jadi, sejajar dengan lagu Bengawan Solo ciptaan almarhum Gesang yang memperoleh penghargaan dalam dan luar negeri. Lagu Genjer-genjer punya peluang untuk go internasional.

Jadi saatnya mengembalikan citra positif Lagu Genjer-genjer!***

Oleh: Cucuk Suparno, Humas Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI)

No comments:

Post a Comment